Jakarta, jatipadang.com – Kampanye pemilu di lembaga pendidikan itu beda dengan pendidikan politik, baik dilakukan di lembaga pendidikan dasar, menengah, maupun di perguruan tinggi. Hal itu disampaikan oleh Doni Koesoema A, peneliti dan konsultan pendidikan .
Doni berbicara dalam diskusi bertema Menyoal Pro Kontra Kampanye Pemilu pada Fasilitas Pendidikan di Jakarta (28/9).
Diskusi diadakan Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, diketuai Denny JA serta dipandu Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Doni menuturkan, kita perlu memikirkan bagaimana agar pendidikan politik itu bisa berjalan lebih baik daripada sekadar mengizinkan kampanye pemilu di lembaga pendidikan.
“Kalau kita bicara tentang lembaga pendidikan tinggi, itu adalah lembaga yang mencari kebenaran universal. Itu dasar pemikiran mengapa ada universitas,” ujarnya.
“Kebenaran universal itu bisa dilakukan kapan pun, di mana pun, dalam setiap program pendidikan di perguruan tinggi. Tidak perlu menunggu ada kampanye atau momen politik,” tambahnya.
“Tetapi setiap civitas akademika harus mengembangkan kapasitas pencarian kebenaran di kehidupan politik,” saran Doni.

Kampanye pemilu di lembaga pendidikan itu bukan sekadar ada atribut atau tidak, ada izin atau tidak. Bukan di situ intinya.
Kalau bicara lembaga pendidikan, cakupannya sangat luas. Lembaga pendidikan ada yang bersifat formal, nonformal, dan informal. Tingkatannya ada pendidikan dasar, menengah, tinggi, hingga PAUD.
“Ini harus jelas, karena di keputusan MK hanya disebut kampanye pemilu dibolehkan di lembaga pendidikan. Kalau dari segi peserta, yang menghadiri kampanye harus sudah punya hak pilih,” papar Doni.
Menurut Doni, kita perlu mengembangkan pencarian kebenaran universal dalam politik secara lebih jernih, cerdas, melalui metodologi, dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. [abr]
Rembugan konten ini sebanyak post